sidang tilang
Beberapa waktu yang lalu aku kena tilang bersama temanku dan kita memutuskan untuk ikut sidang saja daripada membayar pada polisi sekalian tambah pengalaman pikirku. Hari Sidang pun telah tiba dan aku datang ke pengadilan dengan penuh rasa penasaran.
Jam 8.40 ak sampai Kantor Pengadilan, dan pengalaman menarik pun dimulai. Ketika baru saja memarkir motor aku langsung didatangi oleh salah satu pegawai pengadilan (kebetulan baju dinas dia dikeluarkan, pemandangan yang jarang aku temui), kemudian dia langsung menyapa.
"Mas sidang tilang?", tanya pegawai itu dengan ramah.
"Iya", jawabku singkat dan menduga bahwa hanya penampilannya saja yang tidak menyakinkan, tapi hatinya penuh dengan keramahan.
Ternyata dugaanku mulai salah.
"mau tak ambilin nggak?" tawarnya dengan sopan.
"hanya bayar 35 ribu, itu saya hanya ambil 5 ribu, mas tinggal tunggu bentar lalu tak ambilin." lanjut dia dengan tanpa basa-basi.
Mendengar tawaran itu akupun langsung jengkel, awalnya aku kira dia penuh dengan keramahan, tapi ternyata ramah karena ada maksud tertentu. Apakah jaman sekarang ini apabila ada orang yang ramah, pasti dia ada maksud tertentu? Semoga itu hanya pikiranku yang buruk saja.
"aku nunggu temanku kok." jawabku singkat sambil meninggalkan pegawai itu. Dia pun kelihatan agak jengkel mungkin karena kelakuanku tadi yang menolak 'kebaikannya'.
Ketika mau sampai di teras Pengadilan, lagi-lagi aku ditawari untuk diambilkan SIM ku, tetapi aku tetap menolak karena kebetulan masih menunggu temanku yang akan sidang juga.
Aku pun lalu duduk di teras Pengadilan sambil menikmati keadaan sekitar karena ini merupakan pengalaman pertamaku masuk pengadilan. Ternyata bukan hanya aku saja yang ditawari oleh pegawai pengadilan, tetapi setiap orang yang datang. Baik itu yang naik motor maupun yang jalan kaki, pokoknya semua ditawari dan tanpa basa-basi. Ada sekitar 10 pegawai yang menunggu di teras untuk menawarkan 'kebaikkannya'.
Waktu menunjukkan jam 9 tepat, tetapi temanku juga belum datang, sedangkan yang datang mulai banyak, dan para pegawai itu pun semakin sibuk 'melayani masyarakat'. Beberapa saat kemudian temanku muncul bersama temannya. Dan seperti yang aku alami tadi, dia juga ditawari tapi aku langsung memanggilnya untuk langsung masuk ke pengadilan. Pegawai yang menawari temanku tampak sewot dengan aku, mungkin karena aku menghilangkan mangsanya.
Sudah jam 10, tetapi sidang belum juga dimulai, padahal harusnya mulai jam 9. Ternyata dimana-mana, asal masih di Indonesia, jangan datang tepat waktu kalau tidak siap untuk menunggu.
Sambil menunggu, aku berbincang dengan temanku dan seorang Bapak yang kena tilang juga. Arah obrolan kami pun mulai menarik ketika mulai berbicara tentang pegawai-pegawai yang menawarkan jasa tadi di depan. Kami pun mulai berpikiran jangan-jangan sidang belum mulai karena masih menunggu menolong orang yang tidak sempat untuk mengikuti sidang.
Kemudian saya bertanya ke Bapak itu, "dapat pahala gak yaa pegawai tadi? Dia kan sangat membantu orang yang kebetulan tidak punya waktu untuk mengikuti sidang dan orang-orang yang sibuk? Mereka kan juga memberi kemudahan kepada masyarakat? Apa itu bentuk pelayanan yang baru?
Bapak tadi hanya bisa tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Mungkin karena bukan kewenangannya, pahala dan dosa itu kan kewenangan Tuhan batinku.
Akhirnya sidangpun dimulai setelah seseorang yang berjubah hitam dan ada seperti dasi berwarna merah, dan ternyata itu hakimnya (maklum baru pertama kali ikut sidang). Setelah menyiapkan berbagai macam berkas-berkas akhirnya sidang mulai.
Palu diketok, artinya sidang dimulai. Hakim pun menyuruh hadirin untuk melepas topi dan yang berdiri disurud keluar supa rapi dan hadirin dimohon tertib.
Setelah itu dia minta maaf atas kekurangan sarana dan prasarana di ruang sidang. Hakim itu juga berkata bahwa anggaran untuk badan Yudikatif paling kecil dibanding dengan Eksekutif dan Legislatif. Bahkan anggaran untuk Mahkamah Agung lebih kecil dari Dinas Tata Kota DKI tambahnya untuk menyakinkan hadirin.
Aku bilang ke temanku, "mungkin itu sebabnya, di Negara ini hukum bisa dijual belikan." Temenku bersama orang disekelilingnya tertawa mendengar kata-kata ku tadi.
Bukan hanya minta maaf karena kerterbatasan sarana dan prasarana, Hakim tersebut juga minta maaf atas keterlambatan memulai sidang dengan alasan masih menunggu petugas dari Kejaksaan. Peserta sidang pun serempak berteriak, "Huuuuu...".
Akupun hanya membatin apa salahnya mengakui kesalahan sendiri? Kenapa juga harus mengkambing hitamkan orang lain? Padahal aku juga sering begitu, he... Mungkin itu sudah menjadi budaya kita.
Setelah puas basi-basi, tersangka pertama pun dipanggil kemudian dilanjutkan orang berikutnya. Ada yang kena denda 35 ribu, 20 ribu, dan ada juga yang bebas tidak kena denda sepeserpun.
Mulai terjadi kekonyolan ketika ada salah satu tersangka yang didakwa melanggar pasal sekian (maaf lupa) tetapi intinya menerobos lampu merah, tetapi ketika ditanya oleh Hakim apakah dia menorobos lampu merah atau tidak, dia menjawab bahwa dia bukan melanggar lampu merah tetapi tidak memakai helm. Tersangka berikutnya juga hampir sama, dikenakan pasal menerobos lampu merah padahal waktu itu motornya tidak ada plat nomor karena masih baru.
Peserta sidang pun jadi ramai karena kekonyolan itu, ada yang tertawa tapi tidak sedikit pula yang memaki. Hakim pun bingung dengan kesalahan penulisan pasal itu, tetapi kemudian mereka dikenakan denda 20 ribu.
Hakim saja bingung, apalagi masyarakat awam yang kurang mengerti akan peraturan. Aku hanya berfikir jangan-jangan tidak ada peraturan yang mengatur tentang itu (tidak pakai helm atau tidak ada plat nomor kendaraan yang masih baru). Atau barangkali polisi yang menangkap mereka hanya hafal pasal tentang menerobos lampu merah? Semoga pikiranku salah semua.
Beberapa saat kemudian namaku pun dipanggil, aku langsung maju ke depan. Rasanya agak gugup, maklum pengalaman pertama di persidangan. Setelah duduk, Hakim langsung memulai menanyaiku tentang apa pelanggaran yang dilakukan olehku. Setelah aku selesai menjelaskan, dan diputuskan denda sebesar 20 ribu.
Untung masih lebih murah daripada penawaran pegawai di tempat parkir tadi. Kalau membayar 35 ribu aku pasti sangat menyesal sudah menolak Pegawai tadi.
Pembayaran dilakukan diruangan lain, dan lagi-lagi kesabaran harus diuji karena harus antri satu per satu. Akhirnya namaku dipanggil juga dan disuruh membayar Rp 20.500, aku agak kaget karena tadi dendanya 20 ribu, tidak pake 500, kemudian petugas itu menjelaskan untuk biaya administrasi sidang. Ternyata dimana-mana selalu ada biaya administrasi batinku.
Berhubung aku dan temanku sudah membayar dan memperoleh SIM masing-masing, kita pun memutuskan untuk pulang. Sambil berjalan menuju motor aku bersama temanku tertawa sendiri atas pengalaman pertama mengikuti sidang, entah tertawa karena sudah dapat dapat SIM lagi atau tertawa kaget melihat peradilan kita yang seperti ini.
Jam 8.40 ak sampai Kantor Pengadilan, dan pengalaman menarik pun dimulai. Ketika baru saja memarkir motor aku langsung didatangi oleh salah satu pegawai pengadilan (kebetulan baju dinas dia dikeluarkan, pemandangan yang jarang aku temui), kemudian dia langsung menyapa.
"Mas sidang tilang?", tanya pegawai itu dengan ramah.
"Iya", jawabku singkat dan menduga bahwa hanya penampilannya saja yang tidak menyakinkan, tapi hatinya penuh dengan keramahan.
Ternyata dugaanku mulai salah.
"mau tak ambilin nggak?" tawarnya dengan sopan.
"hanya bayar 35 ribu, itu saya hanya ambil 5 ribu, mas tinggal tunggu bentar lalu tak ambilin." lanjut dia dengan tanpa basa-basi.
Mendengar tawaran itu akupun langsung jengkel, awalnya aku kira dia penuh dengan keramahan, tapi ternyata ramah karena ada maksud tertentu. Apakah jaman sekarang ini apabila ada orang yang ramah, pasti dia ada maksud tertentu? Semoga itu hanya pikiranku yang buruk saja.
"aku nunggu temanku kok." jawabku singkat sambil meninggalkan pegawai itu. Dia pun kelihatan agak jengkel mungkin karena kelakuanku tadi yang menolak 'kebaikannya'.
Ketika mau sampai di teras Pengadilan, lagi-lagi aku ditawari untuk diambilkan SIM ku, tetapi aku tetap menolak karena kebetulan masih menunggu temanku yang akan sidang juga.
Aku pun lalu duduk di teras Pengadilan sambil menikmati keadaan sekitar karena ini merupakan pengalaman pertamaku masuk pengadilan. Ternyata bukan hanya aku saja yang ditawari oleh pegawai pengadilan, tetapi setiap orang yang datang. Baik itu yang naik motor maupun yang jalan kaki, pokoknya semua ditawari dan tanpa basa-basi. Ada sekitar 10 pegawai yang menunggu di teras untuk menawarkan 'kebaikkannya'.
Waktu menunjukkan jam 9 tepat, tetapi temanku juga belum datang, sedangkan yang datang mulai banyak, dan para pegawai itu pun semakin sibuk 'melayani masyarakat'. Beberapa saat kemudian temanku muncul bersama temannya. Dan seperti yang aku alami tadi, dia juga ditawari tapi aku langsung memanggilnya untuk langsung masuk ke pengadilan. Pegawai yang menawari temanku tampak sewot dengan aku, mungkin karena aku menghilangkan mangsanya.
Sudah jam 10, tetapi sidang belum juga dimulai, padahal harusnya mulai jam 9. Ternyata dimana-mana, asal masih di Indonesia, jangan datang tepat waktu kalau tidak siap untuk menunggu.
Sambil menunggu, aku berbincang dengan temanku dan seorang Bapak yang kena tilang juga. Arah obrolan kami pun mulai menarik ketika mulai berbicara tentang pegawai-pegawai yang menawarkan jasa tadi di depan. Kami pun mulai berpikiran jangan-jangan sidang belum mulai karena masih menunggu menolong orang yang tidak sempat untuk mengikuti sidang.
Kemudian saya bertanya ke Bapak itu, "dapat pahala gak yaa pegawai tadi? Dia kan sangat membantu orang yang kebetulan tidak punya waktu untuk mengikuti sidang dan orang-orang yang sibuk? Mereka kan juga memberi kemudahan kepada masyarakat? Apa itu bentuk pelayanan yang baru?
Bapak tadi hanya bisa tersenyum dan tidak berkata apa-apa. Mungkin karena bukan kewenangannya, pahala dan dosa itu kan kewenangan Tuhan batinku.
Akhirnya sidangpun dimulai setelah seseorang yang berjubah hitam dan ada seperti dasi berwarna merah, dan ternyata itu hakimnya (maklum baru pertama kali ikut sidang). Setelah menyiapkan berbagai macam berkas-berkas akhirnya sidang mulai.
Palu diketok, artinya sidang dimulai. Hakim pun menyuruh hadirin untuk melepas topi dan yang berdiri disurud keluar supa rapi dan hadirin dimohon tertib.
Setelah itu dia minta maaf atas kekurangan sarana dan prasarana di ruang sidang. Hakim itu juga berkata bahwa anggaran untuk badan Yudikatif paling kecil dibanding dengan Eksekutif dan Legislatif. Bahkan anggaran untuk Mahkamah Agung lebih kecil dari Dinas Tata Kota DKI tambahnya untuk menyakinkan hadirin.
Aku bilang ke temanku, "mungkin itu sebabnya, di Negara ini hukum bisa dijual belikan." Temenku bersama orang disekelilingnya tertawa mendengar kata-kata ku tadi.
Bukan hanya minta maaf karena kerterbatasan sarana dan prasarana, Hakim tersebut juga minta maaf atas keterlambatan memulai sidang dengan alasan masih menunggu petugas dari Kejaksaan. Peserta sidang pun serempak berteriak, "Huuuuu...".
Akupun hanya membatin apa salahnya mengakui kesalahan sendiri? Kenapa juga harus mengkambing hitamkan orang lain? Padahal aku juga sering begitu, he... Mungkin itu sudah menjadi budaya kita.
Setelah puas basi-basi, tersangka pertama pun dipanggil kemudian dilanjutkan orang berikutnya. Ada yang kena denda 35 ribu, 20 ribu, dan ada juga yang bebas tidak kena denda sepeserpun.
Mulai terjadi kekonyolan ketika ada salah satu tersangka yang didakwa melanggar pasal sekian (maaf lupa) tetapi intinya menerobos lampu merah, tetapi ketika ditanya oleh Hakim apakah dia menorobos lampu merah atau tidak, dia menjawab bahwa dia bukan melanggar lampu merah tetapi tidak memakai helm. Tersangka berikutnya juga hampir sama, dikenakan pasal menerobos lampu merah padahal waktu itu motornya tidak ada plat nomor karena masih baru.
Peserta sidang pun jadi ramai karena kekonyolan itu, ada yang tertawa tapi tidak sedikit pula yang memaki. Hakim pun bingung dengan kesalahan penulisan pasal itu, tetapi kemudian mereka dikenakan denda 20 ribu.
Hakim saja bingung, apalagi masyarakat awam yang kurang mengerti akan peraturan. Aku hanya berfikir jangan-jangan tidak ada peraturan yang mengatur tentang itu (tidak pakai helm atau tidak ada plat nomor kendaraan yang masih baru). Atau barangkali polisi yang menangkap mereka hanya hafal pasal tentang menerobos lampu merah? Semoga pikiranku salah semua.
Beberapa saat kemudian namaku pun dipanggil, aku langsung maju ke depan. Rasanya agak gugup, maklum pengalaman pertama di persidangan. Setelah duduk, Hakim langsung memulai menanyaiku tentang apa pelanggaran yang dilakukan olehku. Setelah aku selesai menjelaskan, dan diputuskan denda sebesar 20 ribu.
Untung masih lebih murah daripada penawaran pegawai di tempat parkir tadi. Kalau membayar 35 ribu aku pasti sangat menyesal sudah menolak Pegawai tadi.
Pembayaran dilakukan diruangan lain, dan lagi-lagi kesabaran harus diuji karena harus antri satu per satu. Akhirnya namaku dipanggil juga dan disuruh membayar Rp 20.500, aku agak kaget karena tadi dendanya 20 ribu, tidak pake 500, kemudian petugas itu menjelaskan untuk biaya administrasi sidang. Ternyata dimana-mana selalu ada biaya administrasi batinku.
Berhubung aku dan temanku sudah membayar dan memperoleh SIM masing-masing, kita pun memutuskan untuk pulang. Sambil berjalan menuju motor aku bersama temanku tertawa sendiri atas pengalaman pertama mengikuti sidang, entah tertawa karena sudah dapat dapat SIM lagi atau tertawa kaget melihat peradilan kita yang seperti ini.