Kamis, Mei 29, 2008

Aborsi lagi

beberapa hari yang lalu aku ikut bedah film dan diskusi yang diadakan oleh HIMASOS FISIP UNS. Ketika diajak untuk ikut diskusi aku langsung tertarik karena nanti akan nonton film tentang aborsi, film inilah yang sangat menarik minatku.

acara pertama dibuka dengan nonton film kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Yang aku tidak sangka adalah film tersebut karena film tersebut menceritakan tentang proses aborsi, sampai alat-alat yang digunakan bahkan gambaran ketika aborsi melalui USG.

permulaan, film itu menggambarkan tentang alat-alat yang digunakan untuk aborsi, mulai dari yang untuk melebarkan saluran telur, untuk menyedot bayi sampai alat penghancur kepala si bayi. Yang jelas alat-alat tersebut seperti alat yang digunakan untuk operasi bedah.

kedua, film itu mulai mensimulasi proses aborsi, dan dijelaskan tahap-tahapnya. Sampai disini aku mulai ngeri melihst ilustrasi tersebut. Selanjutnya film memperlihatkan proses aborsi secara langsung termasuk melalui USG. Terlihat alat-alatnya ketika hampir memasuki kandungan, ketika berputar-putar di seputar ketuban untuk menentukan posisi bayi. Pada saat ini sudah mulai berontak, posisisinya yang semula tenang kemudian mulai ganti-ganti posisi untuk menghindari serangan alat-alat tersebut. Ternyata si bayi sudah tau akan ada bahaya yang mengancam jiwanya.

setelah alat itu berhasil menembus ketuban, dan ketuban pecah, maka pembunuhan yang sesungguhnya dimulai. Kemudian alat penghisap dimasukkan, melalui USG terlihat satu persatu bagian tubuh seperti kaki dan tangan terpisah dan menghilang terhisap oleh alat tersebut dan bayi tersebut dalam sekejap terhisap dan keluar menjadi gumpalan-gumpalan darah yang di tampung dalam sebuah tabung kaca. Melihat darah tersebut aku mulai mual-mual. Ternyata tidak semua bagian tubuh bayi bisa dihisap, biasanya masih menyisakan kepala. Kemudian dimasukkan alat berikutnya untuk menghacurkan kepala si bayi tersebut. KEtika kepala bayi itu sudah terjepit, maka tinggal menghancurkannya dan kemudian dihisap untuk dikeluarkan dari rahim si ibu.

sampai tahap ini, sudah membuatku mual, sesuatu yang jarang terjadi jika aku melihat sesuatu yang menjijikkan. Tetapi film itu belum berhenti menunjukkan kekejaman sebuah aborsi karna pada tahap selanjutnya dipertontonkan bayi-bayi yang telah hancur hasil aborsi. Ada yang kehilangan tangan dan kakinya, ada yang tinggal kepalanya saja, ada yang kepalanya hilang setengahnya, ada yang sudah dikumpulkan bagian-bagian tubuhnya seperti kaki, tangan, tubuh dan kepalanya. Terlihat juga bayi dengan kondisi yang hampir utuh tetapi berada dalam sebuah tempat sampah.

melihat bayi-bayi korban aborsi, cukup membuat aku kehilangan selera makan, walaupun pada waktu itu aku sedang lapar. Kemudian aku coba makan donat yang disediakan oleh panitia, tetapi ketika memakannya aku tidak merasakan apa-apa, hambar, karna masih terbayang oleh bayi-bayi korban aborsi tersebut. Betapa tega dan tidak manusiawinya orang-orang yang melakukan aborsi tersebut.

Film tersebut kemudian menceritakan tentang seorang dokter muda yang dalam usia mudanya telah melakukan lebih dari 10.000 kali aborsi di Amerika, tetapi setelah melihat film itu, kemudian dia berikrar pada dirinya untuk tidak melakukan aborsi lagi. Dan memang film tersebut berhasil menunjukkan betapa kejamnya sebuah proses aborsi. Jadi jika ada yang masih melakukan aborsi setelah menonton film tersebut maka perlu ditanyakan lagi apakah dia masih mempunyai moral? apakah dia masih manusia yang dianugerahi perasaan?

ON TIME

Tadi habis ikut Seminar Nasional tentang jurnalisme. KArna ssifatnya nasional maka aku datang 20 menit lebih awal. Dalam undangan acara akan dimulai jam 13.00, makanya aku datang 12.40, sesuatu yang jarang aku lakukan karena biasanya kalau acara mulai jam 13.00, maka jam 13.00 aku baru berangkat dari kos. Tadi itu ntah ada apa aku kok ingin berangkat lebih awal? Mungkin karna HTM lebih mahal dari semnas yang pernah aku ikuti.

Sampai di lokasi, daftar ulang dan langsung masuk ruangan. Aku orang kedua yang ada disana, sudah ada 1 orang yang kebetulan temanku, jadi lumayan ada teman bicara.

12.45 : masuk ruangan, baru ada 1 peserta
13.00 : belum ada peserta lain yang datang, dan belum ada tanda-tanda seminar akan dimulai.
13.15 : 3 orang peserta masuk, aku tanya jam ke temanku, jangan2 jam ku salah
13.30 : mulai banyak peserta yang masuk, tetapi ruangan baru terisi setengah
13.45 : ruangan sudah hampir penuh
13.50 : acara dimulai, akhirnya....
14.10 : ada 3 peserta yang masuk, masih maklum mungkin rumahnya jauh
14.30 : 5 peserta masuk lagi, mungkin terjebak macet atau terkena demo, solo apa pernah macet?
15.00 : 2 peserta masuk lagi, g punya malu
15.20 : mulai sesi tanya jawab, malas bertanya
16.30 : 2 pembicara utama keluar disertai aku bersama temanku meninggalkan acara seminar tersebut, padahal acara belum selesai

Keluar sebelum acara selesai sebenarnya tidak ada dalam kamus hidupku, karna itu sama saja dengan orang yang tidak bertanggung jawab, setengah2 dalam mengerjakan sesuatu. Tapi sore itu, terpaksa aku harus melanggarnya karna mengalami akumulasi kekecewaan.

Yang membuatku paling kecewa adalah keterlambatan dimulainya acara tersebut, banyangin saja hampir 1 jam, padahal skala acara adalah Nasional? Walaupun aku sering terlambat, tapi tidak pernah selama itu. Yang bikin aku tambah kecewa, waktu itu aku sengaja untuk datang lebih awal karna aku pikir yang namanya acara tingkat nasional pasti on time!!

Tapi ternyata dugaanku salah! ketika acara berlangsung kemudian aku merumuskan sebuah keyakinanku bahwa: DIMANAPUN, SELAMA MASIH DI INDONESIA, JANGAN PERNAH BERHARAP JIKA IKUT SUATU ACARA AKAN DIMULAI TEPAT WAKTU!!!

Jumat, Mei 09, 2008

Ingin jadi PEMIMPIN?

Harga minyak dunia yang terus melambung membuat pemerintah mau tidak mau, suka tidak suka, harus menaikkan harga BBM karena sudah tidak rasional lagi untuk tetap bertahan di harga sekarang, atau negara menjadi bangkrut!!!

permasalahannya apakah masyarakat siap dengan kenaikan harga ini? Padahal dengan kenaikan harga BBM bisa dipastikan harga-harga yang lain termasuk kebutuhan pokok akan ikut naik juga. Apakah daya beli masyarakat, terutama masyarakat dari golongan menengah kebawah masih mampu menjangkau harga-harga tersebut (kebutuhan pokok)

Melihat apa yang sedang berlangsung di negara ini, aku melihat bahwa sangat tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara! Itu sangat sulit karena harus berusaha "memuaskan" semua rakyatnya. Tetapi kenapa banyak sekali yang ingin menjadi seorang pemimpin?

Seorang pemimpin harus mengurangi waktu untuk anak-istrinya karena harus mengurusi rakyatnya. Keluarganya bertambah karena rakyatnya juga harusnya dianggap sebagai bagian dari dirinya, bukan merupakan bawahan yang harus patuh pada kemauannya.

Seorang pemimpin bukan penguasa
tapi hamba bagi rakyatnya
pelayan bagi kemakmuran
dan penyelamat dari kemiskinan dan kebodohan

Seorang pemimpin bukan diktator
tapi perpanjangan tangan rakyatnya
mengerti keadaan dan kemampuan
untuk kemajuan bersama, dukan dirinya saja

Seorang pemimpin bukan atasan
tapi perwakilan rakyatnya
merupakan orang pilihan, mengerti kemampuannya
dan tidak memaksakan jika tidak mampu memimpin

Seorang pemimpin bukan yang datang terakhir
tapi dia adalah contoh dan panutan
datang lebih awal, tidak pernah terlambat
sesuai antara perkataan dan perbuatan

Seorang pemimpin bukan pemimpin
apabila dalam tiap doanya masih lebih banyak mendoakan dirinya sendiri daripada rakyatnya
apabila lebih mementingkan kepentingan keluarganya daripada kepentingkan rakyatnya
apabila hanya menjual harapan bukan kenyataan

Senin, Mei 05, 2008

MALU

tadi siang aku sempat berbicara dengan seorang bapak-bapak yang berkerja di bidang tranportasi, umurnya sekitar 50 tahun. Bapak tadi, dulunya bekerja sebagai sopir dan sekarang bekerja di kantor cabang perusahaan bus tersebut.

Sebagai seorang mahasiswa, apalagi sudah lulus dan tinggal menunggu wisuda, berbicara dengan bapak ini merupakan sesuatu yang mudah, karena dari segi ilmu pengetahuan dan pendidikan pasti lebih tinggi aku. Aku hanya kalah dari segi umur saja.

kemudian dia mulai bercerita tentang pengalaman dia sebagai sopir hingga sampai kehidupan yang sekarang. Sampai pada cerita ini, aku masih biasa saja, karena sudah sering berjumpa dengan orang yang lebih tua dan menceritakan perjuangan hidupnya.

beberapa saat kemudian cerita mulai mengarah ke persoalan negara yang ada di negara ini. ketika ini aku mulai angkat bicara karena bidang ini aku yakin lebih mengerti daripada bapak ini karena sudah banyak teori yang aku pelajari di kuliah tentang negara. tetapi akhirnya aku hanya terdiam mendengar penjelasan-penjelasan dia selanjutnya.

ketika berbicara mengenai kemiskinan, dia bukan hanya menjelaskan secara nyata apa yang ada di masyarakat, tetapi juga solusinya. Banyaknya pengangguran di negara ini kata dia karena di sekolah kita tidak dididik untuk membuat lapangan kerja, di sekolah atau kampus kita diarahkan untuk menjadi "pencari kerja" bukan "pembuat kerja". ketika dia bercerita ini aku merasa telah salah menilai bapak ini.

dengan posisi saat ini, yang aku hanya tinggal menunggu wisuda, rasanya sangat malu mendengar perkataan bapak itu. Apalah artinya aku sebagai seorang wisuda jika nantinya menambah antrian pengangguran di negara ini? Ketika habis ujian pendadaran rasanya sudah puas karena rasanya sudah melakukan banyak hal sehingga bisa wisuda dengan berani mengangkat muka.

tetapi setelah pertemuan dengan itu, rasanya ingin menunda wisuda, ingin rasanya kerja dulu untuk menghilangkan status menganggur, ingin rasanya mengajak orang lain walaupun satu, untuk bekerja sama aku sehingga dia tidak menganggur lagi, ingin rasanya menerapkan ilmu-ilmu yang aku peroleh, ingin rasanya sibuk lagi, ingin rasanya berguna lagi bagi orang lain.

Apa bedanya seorang wisuda, lulusan SD, SMP, SMA, atau tidak pernah sekolah sama sekali jika akhirnya ketika dewasa sama-sama menganggur? Menjadi sarjana hanya memperoleh status bukan sebuah jaminan kerja.

trus siapa yang salah jika seorang sarjana menganggur? Yang pasti individu tersebut, termasuk aku, karna tidak bisa menerapkan ilmu-ilmu yang sudah diperoleh di bangku kuliah. Ketika kuliah tidak begitu serius karena hanya mengejar sebuah gelar, bukan sebuah ilmu. Ketika kuliah hanya mengejar sebuah nilai, bukan sebuah pengetahuan.

menyalahkan orang lain sudah bukan jamannya lagi, apalagi menyalahkan sebuah sistem. Baik buruknya sebuah sistem tergantung orang yang ada di dalamnya, bukan karna sistem tersebut tidak tepat.

mungkin wisuda kali ini aku persembahkan untuk keluarga saja, karena mereka yang telah membiayai diriku selama ini. Status sarjana ini biarlah menjadi kebanggan mereka....Sedangkan diriku merasa belum layak untuk menyandang

Jumat, Mei 02, 2008

Skripsi

Ternyata membuat skripsi nggak semudah yang aku pikirkan, banyak hambatan non teknis yang menghambatnya.Beberapa waktu lalu ketika berada di kampus aku melihat beberapa tumpukan skripsi yang berada di dalam gudang, semua keliahatan berantakan dan tidak terawat. sejak lihat itu lumayan menghancurkan semangat mengerjakan skripsiku.

apakah nantinya karyaku diperlakukan seperti itu? seperti tidak ada harganya, atau jangan-jangan memang karyaku tidak berharga sehingga pantas diberlakukan seperti itu.

terus siapa yang salah? pihak kampus atau mahasiswanya? kampus tidak mau merawat hasil karya mahasiswanya atau memang karya mahasiswanya tidak layak untuk disimpan?

mengapa sebelum lulus sarjana harus membuat skripsi? tiap tahun berapa skripsi yang tercipta di berbagai universitas? bagi mahasiswa eksakta berapa temuan yang berguna bagi masyarakat? bagi anak sosial berapa masalah yang diselesaikan dari skripsi yang dikerjain?

bisa jadi semua skripsi itu hanya berhenti di perpustakaan, kalau lebih jauh paling masuk gudang. bagaimana seandainya temuan-temuan itu ditindak lanjuti? tetapi apa cukup layak untuk ditindak lanjuti?
jangan-jangan skripsi atau TA hanya dijadikan syarat untuk menjadi sarjana saja sehingga ketika sudah wisuda maka tercapai sudah tujuan membuat skripsi itu.

apakah mahasiswa sesempit itu pikirannya? kuliah hanya sekedar mencari gelar sarjana?

Muslim Negarawan

Itu merupakan salah satu slogan mahasiswa pergerakan di Solo. Membaca slogan tersebut aku merasa tersindir karena kedua hal itu tidak pernah bisa melekat dalam tubuh, bahkan citra diriku saja tidak pernah bisa menampilkan kedua hal tersebut.

Menjadi seorang muslim merupakan sebuah cita-cita bagi diriku. Muslim bagi aku bukan sekedar beragama Islam, ketika bertemu mengucapakan Assalamualikum, memanggil temannya dengan sebuah panggilan 'antum' / 'anti' atau 'akhi' / 'ukthi', sholat di masjid tepat waktu, sering ikut kajian, hafal Al-Quran lebih dari 30 surat, dll. Itu semua memang bukan hal yang biasa aku lakukan sehingga aku iri dengan orang-orang yang bisa melakukannya.

Tapi bukan karena keirianku, karena mereka lebih baik dari saya, trus mengecap mereka bukan muslim. Setauku muslim itu orang yang memeluk agama Islam, jadi siapa saja yang beragama Islam berhak menganggap dirinya muslim, termasuk mereka dan saya.

"Trus kenapa aku menganggap diri aku belum muslim?" padahal aku juga beragama Islam!

Bagi aku, muslim bukan sekedar beragama Islam, tetapi juga menjalankan ajaran-ajaran didalam agama dan menjauhi segala larangannya. Dan itu aku belum bisa melakukannya.

"Tetapi orang-orang diatas kan sudah melakukan semua perintah-Nya?" mulai dari sholat sampai amalan-amalan kecil lainnya!

"Iya, betul, tetapi apakah mereka juga peduli dengan masyarakat sekitarnya?" Mereka lebih peduli dengan saudaranya di Palestina sana bahkan sampai berdemo

"Apakah masyarakat sekitarnya bukan saudaranya?" Kalau aku menganggap disekitarku adalah suadaraku karena aku lahir disini, dibesarkan disini, ketika susah juga orang disini yang membantuku dan aku lebih bangga memasang sang Merah Putih di jaket daripa bendera negara lain.

"Memasang bendera negara lain di jaket apakah bisa disebut negarawan?" Setauku negawaran itu orang yang cinta negaranya dan mau berkorban untuk negaranya, bukan orang yang ikut mengatur negara ini, apalagi memakai identitas negara lain.

"Apakah pernah mendengar seorang negarawan yang mengaku dirinya 'negarawan'?" Seingatku sich belum pernah, mungkin aku masih terlalu muda dan kurang banyak membaca ataupun dengerin berita tentang seorang yang mengaku negarawan, semoga saja aku salah

"Pernah mendengar muslim negarawan?" Belum lama ini membaca di jaket temenku yang bertulis seperti itu. Salut buat mereka karna aku menjadi negarawan aja sulit, apalagi menjadi seorang muslim, ajarin donk..

"Mau menjadi muslim negarawan?" Mau banget!! tapi apa aku bisa jika kelakuanku masih seperti ini:
- masih menjelek-jelekkan orang lain, padahal setauku di Islam melarang itu
- lebih peduli nasib bangsa lain daripada nasib bangsa sendiri
- lebih suka memprotes daripada ikut berpartisipasi (aku banget)

Setiap membaca tulisan itu seperti ada yang menampar mukaku untuk selalu mengingatkanku menjadi dua unsur tersebut, seorang Muslim dan Seorang Negarawan. Terima kasih sudah mengingatkanku dan juga orang lain yang merasa tersindir.

Andai tulisan itu adalah produk dari Joger atau Dagadu, pasti laku keras...

Google Docs & Spreadsheets - Pengolah kata dan spreadsheet web. Edit halaman ini (jika Anda punya izin) | Laporkan spam