« Home | Antara aku, ayah atau kakek » | Aborsi lagi » | ON TIME » | Ingin jadi PEMIMPIN? » | MALU » | Skripsi » | Muslim Negarawan » | HP » | sidang tilang » | dah 4 tahun tidak ikut upacara 17 agustusan...kang... »

sebuah perjalanan

Sebulan yang lalu aku mengalami hal yang baru pertama kali aku rasakan, rasa yang membuat aku menangis walaupun tanpa mengeluarkan air mata, rasa yang mungkin sulit aku rasakan kembali, rasa yang sedikit banyak mengubah persepsiku tentang sesuatu, rasa yang mungkin dilupakan oleh banyak orang saat ini.

perjalanan dimulai ketika aku mengikuti ujian masuk sebuah departemen di jakarta. Sore itu aku naik kereta untuk menuju ke Jakarta. karena kereta berangkat jam 6 sore maka aku berbuka di Stasiun, sendirian, dan baru pertama kali ini aku berbuka puasa seorang diri tanpa satu orang pun yang aku kenal. begitu juga dengan sahur, aku makan sendiri tanpa berbincang dengan seorang yang dekat denganku.

Sampai di Jakarta jam 4.30 pagi kemudian mampir ke kost teman untuk mandi kemudian bertemu dengan Om dan langsung menuju tempat ujian. Jam 9 mulai ujian dan selesai jam 12, kebetulan waktu itu jakarta kurang begitu panas, jadi untuk level puasaku masih bisa bertahan. Jam 12.30 sampai gambir kemudian antri tiket untuk pulang. sewaktu antri kebetulan di depanku terdapat sepasang kekasih yang sambil antri ngobrol dengan mesranya. sepasang kekasih ini membuat emosi karena maklum aku masih jomblo.

dapat kereta jam 8 malam, berarti masih ada beberapa jam sebelum keberangkatan. Kemudian diajak keliling monas yang kebetulan cukup panas untuk orang berpuasa. Ketika akan naik ke atas monas, satu lift dengan anak kecil yang sedang minum minuman dingin. Keliahatannya anak itu sangat menikmati minuman itu, sedangkan aku menahan emosi melihat perilaku anak itu karena sedang puasa. Sempat terpikir untuk membatalkan puasa, tetapi rasanya sayang sekali kalau membatalkan karena tinggal beberapa jam lagi. Akhirnya tetap bertahan puasaku.

Setelah puas di monas, jam 3 kembali ke gambir buat ngantar om pulang. Habis itu jalan sendiri ke istiqlal buat sholah Asyar sambil istirahat. Melewati kolam sebelum ke Istiqlal tercium bau yang kurang harum, sesuatu yang tidak ada dalam bayanganku tentang sebuah masjid terbesar di Asia Tenggara. Sampai disana sholat kemudian tiduran sebentar karena sudah kondisi badan sudah sangat memprihatikan, sudah sangat lemas dan tidak bertenaga. Jam 5 pulang ke gambir dengan sisa-sisa tenaga dan sampai di gambir bingung mo ngapai karna tidak ada yang dikenal sama sekali. Akhirnya duduk sambil menunggu berbuka di masjid gambir.

ketika menunggu ada beberapa orang juga yang sedang menunggu, aku perkirakan mereka juga orang jauh yang kebetulan sedang menunggu berbuka juga. buka akhirnya tiba juga dan saya hanya meminum air putih kemudian sholat. setelah sholat kemudian ke serambi masjid yang dipasang tikar untuk siapa saja yang ingin makan bekal berbukanya. Aku duduk disana tidak membeli makan nasi karena waktu itu entah kenapa habis berbuka hilang rasa laparku. Didepanku ada beberapa lelaki yang makan dengan lahapnya. Dibagian pojok ada wanita bercadar dengan suaminya yang juga sedang berbuka. Semuanya berbuka makan nasi bungkus yang entah dibawa dari rumah atau dibeli dalam perjalanan.

Melihat keadaan sekitar ada perasaan lain yang entah kenapa jadi tidak ada nafsu makan, terutama makan nasi. Melihat mereka makan dengan nikmatnya membuat aku seperti ikut makan bersama mereka. Ada perasaan tulus dalam mereka makan makanannya, walaupun ada seseorang yang berbuka dengan tahu goreng dan sambal saja. Tetapi orang tersebut terlihat sangat menikmati makanannya, terlihat sangat mensyukuri apa yang dimakannya.

Kemudian ada pria berbaju koko bersama wanita bercadar yang makan secara bergantian. Ada perasaan yang sama juga ketika memandang mereka karena terpancar aura keikhlasan ketika makan sesuap demi sesuap. Entah kenapa saat itu aku asyik memandangi satu-persatu orang disana yang sedang berbuka. Mereka terlihat sangat menikmati makanan yang dimakan, walaupun hanya makanan sederhana.

Setelah puas memandangi orang sekitar, kemudian aku mengambil roti dari tas yang memang sudah dibawa dari solo. Ketika mulai gigitan pertama dan mengunyahnya, aku menangis, walaupun tidak keluar ari mata. ternyata hatiku yang menangis, ada perasaan teriris-iris sekaligus bahagia yang tak tertahan. Entah kenapa perasaan itu muncul tiba-tiba saja. Memakan satu roti itupun terasa nikmat sekali, ada perasaan lepas yang keluar dari dalam dada.

Sambil makan roti pertama tadi aku juga memandang orang-orang sekitar yang ikut berbuka tadi, apa rasa yang aku rasakan itu seperti yang mereka rasakan? Rasa dimana aku seperti sama dengan mereka, sama senasib seperjuangan. Aku juga merasakan betapa berartinya sepotong roti ketika kita memang sangat lapar. Padahal selama ini aku kurang menghargai makanan.

Aku juga merasakan betapa pedihnya menahan lapar dan betapa nikmatnya berbuka walaupun hanya dengan sepotong roti. Aku baru merasa betapa berterimakasihnya seorang sudah lama tidak makan memakan sesuatu. Walaupun makanan itu biasa tetapi rasanya yang luar biasa. Rasa yang aku tidak dapatkan ketika aku makan di restoran mewah dan terkenal sekalipun.

Kemudian aku makan sepotong roti lagi, dan akupun masih dalam keadaan menangis. Aku bingung dengan apa yang kualami, apakah begini rasanya nikmatnya berbuka puasa? Kalau iya, berarti selama ini aku tidak puasa karena ketika berbuka tidak ada perasaan apa-apa selain ingin memakan makanan sebanyak mungkin. Aku pernah berbuka dengan orang terkasih, bersama teman-teman direstoran terkanal, bersama anak-anak jalanan, bersama kyai, buka diatas gunung, di dalam kereta, dan lain-lain. Tetapi perasaan yang timbul ketika itu rasanya sungguh berbeda dan baru pernah aku alami.

Hanya tiga roti yang mampu kuhabiskan karena sudah terasa cukup perut ini terisi dan aku masih terbuai dalam perasaan memakan roti tadi. Selama beberapa saat aku hanya terdiam dan memandangi keadaan sekitar. Aku baru pernah merasa bahwa aku tidak berbeda dengan orang disekitarku, tidak ada perbedaan status sosial disana. Aku hanya merasa kita disana sama-sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan dimana perbedaan diantara kita hanya dari segi amalan saja. Aku yakin orang-orang yang ada di serambi masjid tadi tidak saling mengenal tapi aku merasa ada kedekatan diantara aku dan mereka walaupun kita hanya saling berpandang, Seperti ada ikatan batin diantara kita.

Perasaan berbuka tadi masih terasa ketika akan naik kereta. Melihat orang makan di warung makan rasanya berbeda dengan orang-orang di serambi masjid tadi. Entah kenapa mereka terlihat biasa saja dan tidak berkesan dihati.

Selama di kereta aku duduk sendirian sehingga waktu lebih lama aku habiskan dengan merenung kejadian tadi. Kereta belum berjalan kemudian datang seorang kakek yang diantar oleh seorang pria dan perempuan. Setelah kedua pengantar tadi pulang, kakek tersebut langsung mengajak saya bersalaman dan berkenalan. Selama berbincang kakek tersebut menggunakan bahasa jawa yang halus sedangkan aku menjawab dengan gabungan bahasa indonesia dengan bahasa jawa yang halus yang jatuh bangun.

Kakek tersebut bercerita tentang kedua pengantar tadi adalah anak dan menantunya dan kemudian menceritakan tentang dirinya. satu hal yang aku salut dari kakek itu adalah tata krama dan sopan santun yang ada pada dirinya. Beliau menunjukkan orang jawa yang sesungguhnya dimana penuh tata krama dan sangat sopan. Saya katakan sangat sopan karena walaupun berbicara dengan orang yang lebih muda tutur katanya sungguh halus dan tidak pernah menjelekkan sesuatu.

Ternyata kakek tadi sudah berumur 81 tahun, tetapi dari segi fisik masih terlihat kuat dan segar. Aku berfikir mungkin kondisi kakek ini karena dia selalu berfikir positif dan menikmati hidup. Satu hal lagi yang membuat aku kagum adalah ketika selesai berbincang dia selalu pamit dengan sopan, ingin makan menawarkan kepada tetangganya dan berkenalan dengan kanan-kiri dan depan belakang. Aku sungguh malu bertemu dengan kakek tersebut, malu dengan gelar akademis yang katanya kalau semakin pintar seseorang semakin baik tingkahlakunya. ternyata itu tidak berlaku pada aku.

Pengalaman yang aku alami selama berbuka hingga bertemu dengan kakek tersebut terngiang selama perjalanan. Betapa sombongnya aku selama ini, betapa tidak perdulinya aku terhadap sesama dan betapa hilangnya karakter jawa dalam diriku. Satu hal yang aku pelajari dari orang berbuka tadi adalah bahwa dalam berbuka mereka bisa mengendalikan nafsu mereka, nafsu makan yang begitu menggebu ketika lapar akan hilang ketika kita makan makanan dengan mensyukuri makanan tersebut. Bukan menuruti nafsu.

Di buka puasa berikut-berikutnya aku tidak merasakan perasaan seperti ketika berbuka di gambir, padahal terkadang aku berbuka dengan makanan yang enak ataupun ditemani dengan orang terkasih dan terdekat. Aku merasa ada yang salah dalam diriku karena tidak bisa mencapai perasaan di atas. Kemudian aku dapat email dari temanku:

saat syahadat-ku sebatas ucapan
saat shalat-ku sebatas gerakan
saat shaum-ku sebatas kewajiban
saat zakat-ku sebatas keharusan
saat haji-ku sebatas kebanggaan
saat itu pula
kesia-siaan terbesar ada pada diriku

saat Islam-ku sebatas pakaian
saat Iman-ku sebatas ucapan
saat Ihsan-ku sebatas pengetahuan
saat itu pula
ada penipuan terbesar dalam diriku

saat kematian dianggap hanya cerita
saat neraka dianggap hanya berita
saat siksa dianggap hanya kata
saat itu pula
kesombongan terbesar ada padaku

saat takdir dianggap tak mungkin
saat hidup kembali dianggap mustahil
saat Tuhan dianggap nihil
saat itu pula
kedurhakaan terbesar ada pada diriku

bukankah aku memiliki hati?
bukankah aku memiliki jasmani?
dan bukankah aku memiliki akal budi?
maka harmoniskanlah semuanya, Ya Rabbi
semata hanya untuk-Mu

Google Docs & Spreadsheets - Pengolah kata dan spreadsheet web. Edit halaman ini (jika Anda punya izin) | Laporkan spam